By : Uswatun Hasanah
Hari ini H-2 menuju
tahun depan, kami TBC/Becham alias The
Beyond Champion ada yang baru lho?? Sesuatu yang bukan sekedar cetar
membahana namun mengisi relung raga jiwa yang haus akan siraman rohani fisik.
What
is that? Gimana nggak, kami pembinaan bukan sekedar
pembinaan namun pembinaan berbasis wisata,hehehe. Setelah H-3 kemarin pembinaan
with Mr.Asep Musa about IT (Information
of Technology) yang indoor,
sekarang outdoor. Seperti bukan
pembinaan pekanan memang tapi pembinaan in
the weekend.
Yippie, kita mulai
petualangan dari Asetri. Setelah majlis ba’da shubuh para TBC, julukan etoser
’12 bergegas untuk go to Tuntang.
Pukul 09.05 waktu indonesia bagian jam dinding teras asetri, dengan naik angkot
dan dengan dimulai dengan Bismillahirrohmanirrohiim,
kami melaju. Menuju rumah akhiina Arroyan Suwarno di Tuntang. Perjalanan
memakan waktu lebih kurang 2 jam. Nuansa perjalanan diliputi lembah-lembah yang
eksotis dan memukau. Kami TBC (bukan tuberculosis
lho ya) ber-11 saja karena Royan masih berkutat di tempatnya. Kami pergi ber-13 dengan pendamping Mbak Aini
(Etoser 2008) serta Mas Cahyo (Etoser 2009, yang terobsesi menjadi pendamping
:D).
Nuansa pedesaan masih
kental terlihat, jalanan yang kami lalui berbatu tajam namun pemandangannya
yang mengharuskan kita berkata lebih dari wow, alias Subhanallah. Diiringi
dengan musik dan gemericik senda gurau kami menghiasi perjalanan.
Akhirnya, sampailah
kami pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa di Rumah Royan di
Kecamatan Tuntang, Ungaran pukul 11.00. Rona pedesaan yang masih kental
membuatku cetar. Kita itu dari alam, untuk alam dan akan kembali ke alam. Namun
baru kali ini, aku merasakan damainya hidup di desa. Kenapa? Rumahku di desa
namun pesona alamnya tidak seramah di desa. Banyak polusi di mana-mana,
sungai-sungaipun banyak yang terkotori. Hingga hanya panas, panas, tanpa adanya
asupan oksigen memadai yang dirasa.
Sejenak, keadaan lingkungan
turut mempengaruhi bagaimana pembetukan watak kita, kawan. Daerahku disebut
desa, tapi secara fisik tidak melambangkan kharakteristik desa. Disebut kota
pun belum pantas pula karena masih ada lahan pertanian dan toko-toko pun belum
banyak di desaku. Apalagi jasa photocopy,
warnet ataupun sekolah lanjutan belum ada di desaku.
Aku begitu senang
melihat kenyamanan hidup di desa, meski aku tahu jalanannya masih berbatu belum
diaspal merata. Tapi aku tahu untuk mencapai suatu kenyamanan atau titik kesuksesan,
jalanan terjal yang curam dan penuh duri itu harus dilalui. Untuk mendapatkan
sesuatu yang diidamkan, harus ada perjuangan dan pengorbanan.
Sampai di sana, kami
disuguhi dengan sambutan hangat dari ahlul baitnya. Pelajaran lagi buatku
adalah keluarga Royan sangat ramah sekali bahkan akrab. Terbukti dengan raut
wajah serta mimik muka alami. Adik Royan, Gestha begitu akrab sekali dengan
kakaknya. Selisih umur 3 tahun serta bentuk fisik Gestha yang lebih berbobot
dibanding Royan tak membuat mereka berselisih. Subhanallah, aku takjub. Aku tak
bisa membohongi diriku, aku merindukan adik-adikku kapankah aku bisa akrab
dengan kalian. Aku cinta kalian tapi perasaan ini begitu menggerogotiku. Adikku
dan aku seolah dalam dunianya sendiri.
Pukul 11.30 kami makan
bersama, dengan lauk soto ayam, tahu tempe dan telur kami semua menyantap habis
hidangan yang tersedia. Berasa di rumah sendiri, padahal di rumah orang asli
medan euy. Padahal umumnya orang Medan itu berwatak keras, namun tidak dengan
keluarga ini. Mereka begitu terbuka kepada siapa saja dan kami pun begitu
nyaman.
Setelah sholat Dhuhur,
kini saatnya mencicipi agrowisata di samping rumah Royan. Dengan berbagai
buah-buahan, sayuran dan tanaman lain membuat rumah ini semakin berkilau sumber
dayanya. Dari durian, papaya, alpukat, jeruk nipis, jambu biji, nanas, kelapa,
belimbing, kedondong, pohon salam, pohon kopi, tanaman cabe, dll ada di sini.
Gak harus ke mekarsari ke tuntang pun jadi,,hehe menikmati buah dari desa yang
indah berseri yang diambil langsung dari pohonnya.
Begitulah nikmat Allah
kepada keluarga ini, ‘Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?’
Dari sapi perah yang hilang hingga datang penggantinya berupa kabar gembira
bahwa Royan diterima di beastudi etos adalah suatu anugrah. Kini arloji yang
hilang bukanlah suatu hal yang tidak berhikmah, namun aku yakin itu adalah
karena Allah cinta kamu kawan. Iman kita diuji seberapa besar penyerahan atas
segala diri dan titipan ini pada Allah.
Setelah
berbincang-bincang dengan ibu dan nenek Royan, serta berfoto ria bersama kami
pulang. Dibekali dengan durian, dan papaya untuk penghuni di asrama. Eitz, petualangan masih berlanjut. Sekarang
giliran ke Mas Tur utawi Mas Fatkhur di Pabelan, Salatiga. Diwarnai aksi
dorong-mendorong angkot karena efek jalanan yang begitu penuh batuan juga
rintikan hujan kami tetap semangat. Meski juga harus bolak/lik mencari jalan
karena jalan yang biasa dilalui sedang tidak bisa diakses. Kalau ini lebih
menggiurkan lagi pemandangannnya. Pohon-pohon seolah berbaris rapi ketika
upacara, dan itu hampir di temui tiap pandangan mata dimana kami mulai memasuki
kawasan yang menurut saya seperti hutan. Dengan kondisi jalanan yang menanjak,
penuh batu dan berlumpur aksi dorong angkot pun terjadi lagi.
Syukurlah, dari pukul
14.00-16.00 sampailah kita di rumah Akhiina Fatkhur Rohman. Sambutan hangatnya
tak kalah dengan keluarga Royan. Rumah yang begitu sederhana namun banyak
menimbun inspirasi. Ashar disini dimulai jam 16.00, tidak seperti umumnya yang
waktu asharnya jam 15.00 WIB. Ayahnya Mas Fatkhur seorang peternak pedhet dan
kambing. Beliau juga membuat wadah untuk ikan asin yang hanya dihargai murah
tak sebanding dengan kerasnya beliau bekerja. Kakak perempuan Mas Fatkhur sudah
berkeluarga sementara yang tinggal di rumahnya kini hanyalah adik dan
orangtuanya.
Hari ini TBC
benar-benar makan 2x, siang dan sore. Dengan jamuan khas dari pondokan Mas
Fatkhur itulah yang mengakhiri petualangan kami. Perjalanan pulang yang memakan
waktu hingga maghrib, masih betah di jalan ditemani angkot tanpa lampu itu. Sampai
di asrama dengan luapan keletihan dan ibrah besar yang didapat hari ini, lalu
sholat jama’ qoshor maghrib ma’al isya’.
Banyak hikmah yang
dapat dipetik dari petualangan ini kawan, banyak peristiwa yang mesti
disaksikan bahwa kekayaan yang hakiki itu adalah berasal dari hati. Kesuksesan
yang sejati adalah kesuksesan yang diwarnai oleh aksi-aksi menginjak duri tajam
dan yakin akan kekuaasaan Allah. Indahnya hidup itu disaat kita menikmati, saat
kita menerima setulus hati akan apa yang digariskan Allah bagi kita. Rizki,
hidup/mati, jodoh semuanya takdir Allah. Kita hanya berusaha mengubah takdir
itu menjadi lebih baik.
Petualangan fisik pada
hari ini memang telah usai, namun petualangan yang sejati masih berlangsung.
Semangat kawan!!! Jadikan orang-orang yang kita kasihi, yang menyayangi kita,
atau bahkan melecehkan kita itulah motivator kita, motivator penggerak bagi
pencariaan makna hidup ini. Warna-warni kehidupan itu asyik seasyik kita
bermanfaat bagi orang lain.
Semarang,
16
Shafar 1434 H
30
Desember 2012 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar