Minggu, 10 Maret 2013

Paradoks Kehidupan




Septi Ayu Azizah-Etoser 2012

Tiap orang memiliki kisah yang tak sama. Berbeda antara orang satu
dengan lainnya. Jika kita mau membuka mata, akan kita temukan mozaik
hidup kita. Jika kita peka sedikit saja, maka akan kita temukan
paradoks hidup.
Paradoks kehidupan bagi seorang dhuafa, mungkin adalah sepotong kisah
tentang hal-hal menyedihkan. Sepenggal cerita hal-hal memilukan. Semua
hal yang bersifat sensitif dengan bumbu rasa frustasi, curiga, gundah,
semua terhidang dalam mangkok kepedihan.

Kini bukan lagi saatnya untuk merutuki diri. Karena ada satu hal yang
istimewa. Saya ingin membalik kalimat Salim A. Fillah. Keakraban itu
tak lagi merapuh. Salam terasa menyenangkan, kebersamaan serasa
keindahan. Pemberian bagai permata indah, kebaikan justeru menebarkan
aroma sedap.
Ini bukan lagi sekedar kisah perjalanan yang dipenuhi tantangan. Bukan
sebuah cerita canda-tawa. Bukan pula sebuah kisah suka cita. Mungkin
teman-teman saya yang akan mengisahkan bagian ini. Di sini saya
temukan paradoks hidup saya. Ia berkisah tentang kehidupan ekonomi.
Kisah klasik yang mencekik bangsa ini.
Berkisah tentangnya adalah sebuah permasalahan sensitif, atau bahkan
pertaruhan harga diri seseorang. Tapi kali ini bukan lagi masalah
sensitivitas atau perkara lain yang tak menyenangkan untuk dikisahkan.
Inilah fase yang tepat bagi kita untuk belajar memahami, “makna
kehidupan sejati, kesenangan berbagi, dan merasa 'cukup' atas
kehidupan yang sederhana.”-Tere Liye-
Kisah ini bukan sebuah cerita merendahkan. Bukan untuk mempertontonkan
kemiskinan. Toh, memang kenyataannya seperti itu. Kami adalah para
dhuafa, yang menamai diri kami “The Beyond Champion”. Ini adalah
panggung kehidupan yang tersaji dala selembar kertas. Ya, panggung
kehidupan kami. Dengan kami sebagai tokoh utama dalam pertujukan
tersebut.

30 Desember 2012
Akhir tahun bagi saya adalah waktu yang tepat untuk melakukan
perjalanan. Sebuah perjalanan akan mengantarkan kita pada hal-hal
baru. Didalmanya akan kita jumpai berupa-rupa pengalaman. Ironi pada
tiap peristiwa menantang kita untuk mengerti hakikat hidup sejati.
Dengan begitu, esok saat matahari baru di awal tahun muncul, kita akan
memiliki pemahaman baru. Pemahaman hidup yang jauh lebih baik, yang
kita dapat dari sebuah perjalanan.
Angkot yang kami tumpangi merapat pada tepian jalan yang hampir
menyatu dengan sebuah pekarangan rumah. Saat kaki ini pertama kali
menginjak tanah becek sisa air hujan, pemandangan yang pertama kali
saya lihat adalah sebuah paradoks kehidupan.
Kita akan menyaksikan paradoks ini dibanyak tempat. Sebab di negeri
dengan jaminan sosial amblas ini, akan memudahkan kita menyaksikan
pemandangan tak seimbang ini. Sebuah kasta memisahkan antara kaum
Sudra dengan Brahmana. Kaum Sudra terpelecat jauh dari Brahmana. Si
Sudra yang miskin hanya dapat menatap penuh pesona pada bangunan rumah
si Brahmana. Sedangkan Brahmana tak acuh pada kediaman si Sudra. Tapi,
bukankah negeri ini tak menganut sistem kasta?
“Ora perlu omah apik-apik Mbak, saban dina wes nyawang omah apik. Sing
nduwe omah ora tau nyawang.” -artinya:”tidak perlu rumah bagus Mbak,
setiap hari sudah melihat rumah bagus. Yang punya rumah justeru tidak
pernah menikmatinya-. Ungkap seorang Bapak teman saya sambil menunjuk
rumah tetangganya, yang berada persis di depan rumahnya. Berjarak
seperlempar batu, dan hanya dipisahkan oleh jalan raya.
Saya terharu dengan perkataan Bapak teman saya itu. Bukan! Bukan
terharu karena perbandingan rumah beliau dengan tetangganya, melainkan
betapa lapangnya hati beliau. Bisa jadi beliau amat Zuhud dalam
hidupnya. Bisa jadi, beliau amat bersyukur dalam menyikapi tiap petak
hidupnya.
Saya belajar bahwa hidup ini bukan kemudian menjadikan kita
membanding-bandingkan apa yang kita miiki dengan yang dimiliki orang
lain. Kita akan menjadi seorang yang berbeda, saat kita punya prinsip
yang kokoh. Saat rasa syukur senantia memenuhi relung hati kita,
hingga pada bagian kecil dalam hati. Saat kita merasa 'cukup' atas
pemberian terbaik dari Sang Pemilik Kehidupan.
Itu semua membuat saya malu. Malu pada diri ini yang amat rutin
menggumamkan keluh. Senang memuntahkan rasa kesal. Menangisi tiap
kekalahan. Mengorek serpihan kekacauan. Diri ini lalai. Lalai
memanjatkan syukur. Lalai menatap keindahan. Lalai belajar atas tiap
peristiwa yang Ia sajikan.
Perjalanan ini, membuat saya mengerti. “Benarlah. Jika sedang
bersedih, salah satu obatnya adalah menyadari masih banyak orang lain
yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibanding
kita. Masih banyak orang lain yang tidak beruntung dibanding kita. Itu
akan memberi pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan
membuat kita selalu meyakini. Setiap satu makhluk berhak atas satu
harapan.”-Tere Liye-
“Maka nikmat Robbmu yang manakah yang kamu dustakan?”
QS.55:55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar