Minggu, 10 Maret 2013

Seribu Jalan Menuju Roma : Satu Jalan Menuju Pabelan



Oleh : FATKHUR ROHMAN

Ku buka pagi ini ini dengan dzikir al-ma’tsurat dan majelis pagi. Majelis yang merupakan taman-taman ilmu yang senantiasa mengagungkan nama Allah SWT. Bersama saudara-saudara ku di asrama etos putra, ku arungi taman ilmu pagi ini dengan mendalami  betapa indah bahasa al Qur’an.  
Selesai majelis, kegiatan rutin  yaitu piket, sebagai manifestasi keimanan kita, dilaksanakan. Ada yang menyapu lantai, ada yang beres-beres, ada yang mengumpulkan sampah, dan ada juga yang kembali terlelap dalam dekapan mimpi.
Selesai melaksanakan piket, dilanjutkan agenda rutin dua pekanan, yaitu senam sehat bersama warga di desa Rowosari.  Kegiatan senam berjalan sesuai rencana. Lancar dan terkendali. Semua terlihat bersemangat, walau ada beberapa gerakan tertentu yang cukup sulit untuk di ikuti. Namun hal itu tidak mengurangi semangat ku untuk senam bareng. Momen-momen seperti ini adalah momen-momen indah yang mungkin akan sangat kita rindukan suatu saat nanti. Mungkin hal ini belum terasa karena saat ini masih menjadi rutinitas kita. Tapi coba bayangkan lima atau enam tahun kedepan. Saat kita sudah bekerja di perusahaan masing-masing. Sibuk dengan bisnis dan bertemu klien masing-masing.  Kebersamaan seperti pagi inilah yang mungkin akan sangat kita rindukan.
Selesai senam, kita istirahat sebentar, The By Champion, sebutan untuk etoser 2012, telah merencanakan akan silaturahim ke Salatiga. Ke Tuntang tempatnya saudara Royan, dan ke Pabelan, ke tempat saya. Selain itu, hari ini bebarengan dengan Simbah, yang biasa jualan sarapan tiap pagi, bongkar rumah. Genteng rumahnya diturunkan, karena ingin diperbaiki. Dan Simbah meminta bantuan segenap etoser dalam event tersebut. Sehingga kakak-kakak etoser yang sudah berada di asrama di sibukkan dengan bantu-bantu di tempat simbah, termasuk pendamping tercinta kita, Pak Asep Muhammad Syamsudin ST. , MT.
Karena tadi pagi Amar ketinggalan angkot, dia tidak ikut senam di Rowosari. Di kerja bakti bantu-bantu di tempat simbah dari pagi. Dia loh yang naik ke atas genteng. Dan hal ini juga yang membuat waktu keberangkatan kita jadi molor. Rencana berangkat dari asetri jam 9.00 pagi, jadi molor setengah jam, karena lagi-lagi harus nungguin Amar.
Dengan sangat bersemangat kami berangkat dari semarang jam 9.30 pagi. Berangkat bersama dari asetri, asrama etos putri, dengan bantuan angkot pak Didik. Diluar perkiraan,  jalan ke arah Semarang macet. Perjalanan menjadi sedikit membosankan. Apalagi  suhu dalam angkot sangat panas, bukan hanya karena matahari yang sudah mulai beranjak naik, tapi juga karena macet, sehingga  kadar karbon monoksida membuat udara meningkat.
Untuk menghilangkan rasa galau , aku mencoba ngobrol-ngobrol dengan mas Cahyo. Kebetulan, aku duduk di depan, jadi tidak begitu jelas dengan apa yag dibicarakan orang-orang dibelakang. Aku coba tanya-tanya kedia, dan dia pun mulai banyak bercerita tentang banyak hal. Sebenarnya, aku ini adalah tipe-tipe orang pendiam, tidak bicara kalau tidak kepepet istilahnya. Apalagi dengan orang-orang yang belum akrab. Susah untuk membuat tema obrolan. Mungkin faktor ini juga yang membuat aku menjadi cenderung pendiam.
Saking asyiknya ngobrol dengan mas Cahyo, ternyata angkotnya sudah sampai di jembatan Tuntang. Disana kita menunggu royan yang akan menjemput dan menunjukkan arah jalan ke rumahnya. Setelah menunggu sekitar 10 menit, Royyan deng “kharisma”nya datang.  Dia pun langsung maju ke depan, dan kami membuntutinya. Ternyata, rumah Royyan cukup jauh. Kita harus masuk kampung cukup dalam. Jalannya juga tidak lebar. Akan sangat kesulitan saat ada mobil lain dari arah yang berlawanan.
Pukul 11.00, kami tiba di rumah Royan yang sejuk. Dikelilingi taman-taman alami perkebunan desa yang dipenuhi tanaman buah. Mulai dari durian, pepaya, kedondong, kelapa, dan pohon-pohon lain yang membuat suasana sangat sejuk. Aku lihat juga di seberang jalan rumah Royyan ditanami karet. Pasti kalau pohon-pohon karet itu sudah besar, pasti akan lebih sejuk lagi.
Ternyata Royan dan keluarga sudah menunggu kedatangan kita semua. Mereka menyambut kami dengan sangat hangat dan antusias. Mulai dari bapak, ibu, adik, serta nenek Royan, semua menyambut kedatangan kami dengan senyum yang lebar. Sampai disana kita ngobrol-ngobrol, makan, dan dilanjutkan makan durian. Tak terduga, mas Cahyo bikin sedikit ulah. Dia minta dipetikkan kelapa hijau dikebun. Tapi dari sinilah pesta kebun dimulai. Membuat minuman dari kelapa muda. Mulai dari mengupas buah kelapa, dan lain-lain, semua dibantu oleh bapaknya Royan.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Tiga jam telah berlalu. Dengan semangat kebahagiaan dan kebersamaan. Bercanda tawa, makan-makan, dan menikmati suasana kebun pedesaaan, seakan telah menyihir kami semua. Begitu sangat cepatnya waktu berlalau. Mungkin seperti inilah kehidupan kita di dunia. Mungkin saat ini kita masih muda, masih ada jalan panjang menanti dihadapan kita. Dengan segala kesenangan kita semua. Disana kita angan dan kenikmatan yang ada, maka kita juga mungkin tersihir oleh semua itu, tahu-tahu, kita sudah berada di ujung usia kita.  Kita berdoa saja, biarpun kita tersihir oleh keadaan hingga lupa waktu, semoga keadaan yang menyihir kita itu adalah keadaan yang senantiasa dalam ke-ridhoan-Nya.
Karena masih  ada agenda ke Pabelan, kami serombongan pamit, dan serta foto-foto bareng dengan bapak, ibu, adik, dan nenek Royan. Dengan permohanan maaf, seta ucapan terimakasih, kami beranjak pergi dari rumah Royan, menuju ke Pabelan.
Saat masih di rumah royan, adikku mengirimkan pesan kepadaku
“kang, jalan dari Semowo ke Mendoh ditutup, ada pengaspalan jalan. Harus muter lewat jalur selatan”
“Wah…. Harus muter nih…” pikirku. “Tapi bagaimana ya, saya lewat sana baru beberapa kali saja. Belum hafal jalannya. Ya sudah lah, nekat saja, nanti kan juga bisa tanya-tanya orang disana”.
            Angkot pun melaju ke arah salatiga. Hingga sampailah perjalan seru ini di jalan yang agak asing bagiku. Dari sinilah, perjalan seru dan mendebarkan dimulai.
            Gerimis mulai turun. Suasana dingin menyelimuti. Ditambah kegundahan hati yang menyerbak, tak tahu arah mau ke mana. Waktu itu kita melewati jalan yang sudah agak parah. Terpaksa kami turun dari angkot, karena angkot tidak mau jalan saat kita tumpangi. Cukup jauh kita jalan. Tapi di jalan itu aku sedikit ragu. Aku coba Tanya orang yang lewat. Katanya kita kebablasan. Terpaksa kita jalan balik lagi. Setelah melewati jalan yang ditunjukkan oleh orang tadi aku agak ragu. Soalnya jalan yang dilewati harusnya jalan besar. Bukan jalan kecil yang sudah rusak.
            Tenyata memang benar. Seharusnya tadi masih maju lagi bukan malah mengambil arah balik. Bisa lewat sini, hanya saja jalannya agak jelek. Tapi ya tidak apa-apalah. Yang penting sampai tujuan. Dan ahirnya, betapa leganya hati saya setelah sampai di jalan yang tudak asing lagi. Jalan menuju ke arah desa Gamolan. Kalau sudah sampai disini, saya sudah hafal jalannya. Angkot pun melaju dengan mantap. Setelah perjalanan yang lumayan menegangkan, serta penuh dengan keraguan berahir. Pukul 15.30 kita sampai di desaku tercinta, Desa Medoh Kidul.
            Sampai di rumah saya, para ihwan capcus menuju musholla, Karena sudah masuk waktu ashar. Kami sholat berjamaah disana dan di pimpin oleh mas Cahyo. Sedangkan yang ahwat sholat dirumah. Setelah selesai, kita kembali ke rumah. Ternyata ibu sudah memasak untuk kami. Ya sudah, kita langsung makan sekalian. Karena waktu yang sudah cukup sore, dan lampu mobil pak Didik mati, kita pun tak bisa lama-lama dirumah.
            Sebelum pulang, saya dan royan mengecek jalan. Siapa tahu ada jalan lain yang lebih dekat dan lebih baik untuk dilewati. Menerobos gerimis yang masih rintik-rintik, aku dan Royan mensurvei. Setelah melihat kondisi jalan, kami yakin angkot pak Didik bisa lewat jalan itu. Ahirnya kami pulang memlalui jalan itu. Lumyan, bisa menghemat waktu perjalanan beberapa menit, serta terhindar dari jalan yang tidak layak.
            Seperti perjalanan berangkat tadi, perjalanan pulang pun terjebak macet, walau tidak total. Namun hal ini membuat banyak waktu yang tersita di jalan. Ada satu hal yang sangat saya sesalkan dalm perjalanan itu. Kita terpaksa tidak bisa melaksanakan sholat magrib teoat waktu, karena pak didik tidak berheti. Ya sudah, terpaksa, kita mengqodhonya setelah sampai di asrama, sekalian sholat isya’. Kami sampai di asrama jam 19.30. sungguh perjalanan yang sangat panjang. Hamper seharian penuh. Tapi sangat menyenangkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar